4U: Apakah Twitter merusak Bahasa Inggris?


(Translated to IDN by Danti)

Kalau pertanyaan pada judul di atas membuat kalian sedikit kaget, kalian gak sendiri. Sebagai media sosial yang populer – dan hubungannya dengan bahasa internet – yang terus berkembang, platform seperti Twitter dan Facebook digadang-gadang menjadi penyebab ‘turunnya kualitas’ Bahasa Inggris. Aktor Ralph Fiennes juga ikut bicara kalau Twitter itu jadi alasan kenapa siswa susah memahami bacaan Shakespearean.

Ketika teknologi terbaru menghadirkan bermacam-macam bahasa baru, kita sebaiknya jangan terlalu cepat membandingkan media sosial dan Shakespeare, menurut Ingrid Piller, Profesor Applied Linguistics dari Macquarie dan penyunting Language on the Move pada laman penelitian sosiolinguistik yang berfokus di multibahasa, pembelajaran bahasa, dan komunikasi antarbudaya.

“Kalau kita melihat bahasa yang dipakai di media sosial, yang mana antara berbicara dan menulis kelihatan berbeda, lalu memakai patokan bahasa tulis formal, akan muncul anggapan bahwa bahasa itu terlihat dirubah,” kata Profesor Piller.

“Tapi itu jadinya seperti protes kalau apel rasanya beda dengan pir.”

“Hal ini penting buat kita untuk jangan mencampuraduk media yang biasa kita pakai dengan yang dipakai saat keadaan resmi untuk berkomunikasi.”

Berita baiknya adalah kebanyakan dari kita sebenarnya bagus banget di perpindahan tingkatan bahasa. Jadi tweet gaul yang kalian tulis itu gak boleh untuk menulis surat lamaran kerja yang sifatnya sangat resmi.

“Kecuali kalau seseorang itu punya keterbatasan tertentu, mereka akan berusaha menyesuaikan bahasa yang dipakai pada tempatnya,” kata Profesor Piller.

“Ini termasuk dengan penyesuaian tingkat keresmian waktu kita mengajak seseorang bicara, situasinya atau lingkungan tempat kita tinggal, dan tujuan yang kita ingin capai.”

Meskipun situs seperti Twitter mengharuskan untuk membuat tweet dengan kata-kata pendek dan singkatan ke dalam 140 karakter, bukan berarti seseorang itu gak bisa menguasai kalimat panjang.

“Pemakaian media sosial cenderung tidak sesuai dengan jumlah kosakata yang dimiliki seseorang,” kata Profesor Piller.

“Justru sebaliknya, ini adalah hasil dari belajar yang sudah dicapai dan ini juga ada hubungannya dengan ilmu dalam dunia spesialis – contohnya seorang dokter yang memilih kata ‘fraktur’ daripada ‘patah’.”

Piller menyatakan bahwa diskusi online sejujurnya bisa memberikan kesempatan untuk pelajar bahasa supaya lebih memperluas kosakata mereka.

“Hal ini berlaku khususnya untuk pelajar internasional yang mungkin tidak punya akses yang mudah untuk berdiskusi offline di luar kelas,” katanya.

Untuk mereka yang rindu waktu sebelum adanya media sosial, di mana orang-orang berbicara Bahasa Inggris dengan ‘benar’, Piller menyarankan kita supaya bisa menyesuaikan ekspektasi dan menerima kenyataan kalau di mana pun sudah terjadi perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi dengan cepat, maka bakal ada bahasa yang juga ikut berubah.

“Tidak ada orang di masa sekarang yang memakai Bahasa Inggris abad ke-16 atau memakai bahasa kakek-nenek mereka,” katanya.

“Itupun setidaknya tidak ada orang yang bicara memakai bahasa baku. Adanya perubahan bahasa dan keragamannya itulah yang akhirnya menjadi fakta yang wajib kita terima dalam hidup kita.”


Original text by Language on the Move "4U: Is Twitter Killing the English Language?" (ENG)

Komentar